Kado Ulang tahun yang sederhana untuk kawanku tercinta
(sweet 17)
Saat Aku Suka Bola
Aku tak menyangka pelajaran terakhir hari ini akan mengantukkan, frekuensi gelombang suara Pak Jak yang masuk kategori super pun mampu meninabobokan aku yang duduk di barisan depan. Badan beliau yang besar dengan kumis tebalnya dan gaya bicaranya yang terlampau keras, menjadikannya guru yang ditakuti. Ditambah mata pelajaran yang diajarkan, ‘Fisika’. Tapi setidaknya mereka lebih beruntung karena hanya bertemu fisika seminggu dua kali sedangkan aku? Setiap hari soal-soal fisika adalah makananku, menyuapi pikiranku. Ditambah dengan adanya medan magnetik aneh saat ada cowok keriting, tinggi, dan putih itu.
“Lyla, ini soal materi optika geometri. Besok pagi, Bapak tunggu jawabannya di meja bapak.” Kata penutup dari pidato fisika yang lebar. “Cie..yang olimpiade fisika?” Plak! Kertas kumpulan soal melayang di kepala Gaga, “Rasakan! Tapi gak sakit kan? Soalnya aku hanya menggunakan tenaga beberapa newton kok.”
Hanya selisih beberapa waktu saja, kelas ini sudah kosong. Hanya ada aku sendiri, berkutat dengan gambar lensa, kaca, pembiasaan, pemantulan. Jam tangan menunjukkan pukul 16.00, ku putuskan untuk menyelesaikannya di bawah pohon asem pinggir lapangan sepak bola. Soal nomer lima belas. “Jika ada anak memakai kacamata minus lima, dan titik jauhnya 5 cm, Apakah solusi agar ia mampu melihat dengan jelas!”
Ku lepaskan kacamata minus ini. Ternyata, lensa ini cukup tebal juga. Mengapa mirip dengan kasus dia? Minus lima. Kacamata ini juga minus lima. Ku amati lagi lensa negatif yang bertitik fokus 20 cm. Terbentuk bayangan yang semu, maya dan tegak. Anak laki-laki dengan no punggung 10 memegang bola dan tersenyum. Travi Sandoro. Kapten tim bola yang mempunyai minus lima, selain aku. Ya, lima kejelekanya yang membuat anak fisikapun tak mampu berpikir, dalam artian ‘membodohi’.
Minus 1
Kejelekan pertama mu, kakak Travi Sandoro tercinta adalah tidak menyapaku saat kita bersama mengantre jus jambu merah. Apa retina matamu tidak mampu menangkap bayangan ku? Jelas-jelas aku tersenyum, dan berharap sedikit respon positif darimu. Dan kamu hanya melengos pergi meninggalkan uang dua ribuan di meja kasir.
Minus 2
Hari berikutnya, di tempat yang sama, ‘kantin’. Bersama gerombolan anak bola yang lain, kau masuk ke kantin yang salah. Mengapa kau tidak memilih tempat yang lain? Apakah kau memang ingin membuat pikiranku rancu? menghilangkan rasa lapar karena frekuensi gelombang rasaku padamu yang lebih kuat.
Apalagi saat kau memintaku mengambilkan sedotan merah di hadapanku, “Dek, tolong sedotannya!” Suapan pertama nasi gorengku pun gagal karena instruksimu yang mampu menghentikan aliran energi dalam tubuhku.
Minus 3
Kak, apakah panasnya energi hatiku tak pernah kau sadari. Bodoh kamu kak, seharusnya kamu menyapaku terlebih dahulu saat kita bertemu di depan tangga kelasku sebulan yang lalu. Mataku yang miopi juga selalu mengikuti bayanganmu bahkan saat aku di lantai dua, aku masih melihatmu masuk ke ruang BP walau dengan celah genting sepuluh centimeter. Dan kau tak sadari!Uchgh
Minus 4
Dua hari sebelum Ujian Nasional, kau meminta maaf karena tiga minusmu. Tapi, dengan bersama-sama dengan anak kelas tiga yang lain. Itu hanya menambah minus empat. Mengajak berjabat tangan, “Maafkan ya dik! Mohon doa supaya lulus!” Menganggu sekali apalagi dengan wanginya tanganmu yang sampai saat ini aku masih ingat.
Minus 5
Kejelekanmu, kekuranganmu, dan kelemahanu, bahkan kebodohanmu. Kita berpapasan, berjalan dengan jalur yang berbeda, seperti arah aliran lisrik dan elektron di depan laboratorium IPS. Dan kau hanya terseyum saja ‘titik’.
“Dik Lyla, mau pulang bareng gak?”. Termometer tubuhku merasakan suhu minus lima hatimu, yang perlahan hangat. Dengan senyumanmu, dan ajakan pulang bersama, apakah mampu mempositifkan minus lima pikiranku tentangmu. Atau hanya akan menambah daftar minus, karena kau hanya pura-pura peduli denganku, karena kau memintaku menonton pertandingan terakhirmu di SMA ini.
“Baiklah, tapi beri tahu aku berapa sudut elevasi hingga tercipta gol kemenangan tadi? Seharunya sudutnya itu 45 derajat pasti dari luar kotak penalti bisa langsung masuk, ya kan?””Bisa aja, dik!” Tertawa kita mengema dan sedikit gaung. Mengakhiri catatan ‘minus lima’ tentang seorang Travi Sandoro, atau sebenarnya jurnal semua kebodohan seorang Lyla Khairani.
Purworejo, 6 Juni 2011
Terima Kasih kawanku :)
Leave your comment here:
twitter : @Fari_R10A
facebook : Farii Ch