Mengapa Aku Suka Kamu?
Aku mengakui kebohonganku. Kau tidak pernah mengirim satupun sms, tidak pernah mengajakku bertemu atau hanya menyapa ku. Status kita sekarang juga berbeda, aku hanya anak kecil dengan rok abu-abu, dan kau sekarang bukan lagi anak SMA penuh kepopuleran karena ku dengar, kau telah memilih studi di universitas luar kota.
Hari yang dingin, ku rapatkan selimutku lagi, hari masih pagi. “Matahari, Surya, Sun, dan kawananya kuharap pagi ini janganlah kau muncul dahulu, aku terlalu lelah tadi malam.” doaku. Hanya selang beberapa sekon saja, selimut wol hangat merah jambu itu raib, “Meiga!!!”
“Makanya kalau malam jangan begadang terus, jadi ragu apakah si Lyla jelek ini bisa nusul ke Bandung?? hahahahaha” gema suara jelek Meiga menggema di mobil sport yang melesat dengan akselerasi tinggi. Meiga, kakak ku yang terhormat, mahasiswa ITB yang rese tapi tidak berperi kemanusian dan keadikan.
Bruk, inersia tubuhku saat tiba-tiba mobil berkelajuan nol. “Sial, bannya bocor, Lyla kamu pulang dulu aja naik angkot, sekalian nanti belikan jus jambu.” Masih dengan hukum Newton pertama, rasanya malas sekali, memberikan gaya pada pintu, menahan gaya gesekannya yang berlawanan dengan bidang, dan pikiranku yang menambah berat hidupku.
Ku lambaikan tanganku saat retina mataku menangkap dengan tepat dengan bantuan kacamata minus sebuah angkot merah yang melaju perlahan, bersama iringan musik mesin yang aus. Angkot itu berhenti tepat di hadapanku, sebenaranya ada kesalahan paralaks karena aku melihat angkot itu dengan sudut. Ya, anggap saja, angkot benar-benar tepat. Lupakan! Tidak penting.
Radiasi matahari terasa membakar kulitku, perjalanan masih jauh ditambah dengan gerak angkot terhadap jalan yang menurutku lamban. Apa karena gaya gesekan yang lebih besar daripada gaya tarik mesin tua itu. Ngacol! Ku rogoh saku berlabel lambang OSIS, nihil. Ku masukan tangganku ke dalam tas merah, mencari lembaran uang bergambar Pangeran Travi, ehem. Maksudku Pangeran Antasari.
Ku tarik kertas yang ku cari, dan bukannya uang dua ribuan, tapi ulangan fisikaku yang penuh lipstick merah. Angka empat itu menari indah, mengejekku dengan merahnya. Ku sisipan lembaran kertas itu ke dalam buku jurnalku. Membuka lembaran jurnal ini sama sekali tidak membuat lebih baik, wajahnya yang terbayang semu dalam kacamata hatiku, Travi Sandoro. Bahkan wajah imut itu terpantul sempurna selayaknya cermin datar di kertas ulangan fisikaku.
“Ini, bukan minus lima lagi, jurnal bodoh!” Bodoh..bodoh..bodoh, bodoh sekali kamu Lyla. Ku remas kertas ulangan itu, mataku melotot, wajahku gemes, anak kecil yang duduk di sampingku menjauh, dan mengalihkan padangannya seperti melihat orang kesetanan.
Mungkin anak tanpa dosa itu melihat muka bodohku yang meremas kertas ulangan, memukul kepala sendiri, hanya dengan satu tujuan, “melupakan Travi Sandoro.”
Kami saling berebut oksigen di angkot tua ini, sekitar empat belas orang saling berjubel, dan di sana juga ada aku. Gerah sekali rasanya, tapi di suasana yang tidak kondusif ini aku masih saja bertanya, “Mengapa aku suka kamu?” Jurnal biru itu terbuka, membuka 4 dasar hukum yang mampu menjelaskan semuanya, kararkteristik hukum fisika menurut Davies.
1. Benar
Menyukaimu adalah kebenaran bukan kesalahan. Tak ada larangan dalam undang-undang manapun, tak ada jaksa yang akan menuntut ku karena menyukaimu dan tak akan ada hakim yang akan memutus perkara cinta ini.
2. Universal
Dimanapun rasanya sama, jantung yang berdetak cepat, berakselerasikan tinggi, inersia yang besar saat aku menonton setiap permain bolamu, bahkan sampai kau selesai. Membuatku malu, saat kau menghampiriku, “Kenapa gak pulang dek? Belum dijemput ya? Mau Bareng gak?” hanya gelengan kepala bodoh ini, karena ku lihat Kak Meiga bergerak menuju pijakan kakiku.
Dan rasa suka ku ini akan sama dimanapun aku berada.
3. Mutlak
Cintaku mutlak titik.
4. Kekal
Dasar yang terakhir memang belum terwujudkan, tetapi saat angkot tiba-tiba berhukum newton satu lagi, pikiranku berubah. Kakek dan nenek renta memasuki angkot yang sesak ini perlahan, sang kakek menahan dengan tangan keriputnya uluran bantuan untuk nenek yang kesulitan naik angkot ini.
Akhirnya mereka dapat duduk berdampingan tepat dihadapanku, saling bergandengan tangan, dan tersenyum saat memergoki aku yang mencuri pandang lewat kacamata berdioptri minus lima. “Semoga itu aku dan kamu! Amin”
Leave your comment
twitter : Fari_R10A
fb : Farii Ch
Tidak ada komentar:
Posting Komentar